Snippet
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam menjadi makin pesat. Namun demikian, seperti dikatakan Oliver Leaman, adalah suatu kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari penerjemahan teks-teks Yunani tersebut atau hanya nukilan dari filsafat Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Renan, atau dari Neo-Platonisme seperti dituduhkan Duhem. Pertama, bahwa belajar atau berguru tidak berarti meniru atau membebek semata. Mesti difahami bahwa kebudayaan Islam menembus berbagai macam gelombang dimana ia bergumul dan berinteraksi. Pergumulan dan intereksi ini melahirkan pemikiran-pemikiran baru. Jika kebudayaan Islam tersebut terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, mengapa tidak terpengaruh oleh peradaban India dan Persia, misalnya? Artinya, transformasi dan peminjaman beberapa pemikiran tidak harus mengkonsekuensikan perbudakan dan penjiplakan. 

Kedua, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah dahulu mapan dalam masyarakat muslim sebelum kedatangan filsafat Yunani

Meski karya-karya Yunani mulai diterjemahkan pada masa kekuasaan Bani Umaiyah, tetapi buku-buku filsafatnya yang kemudian melahirkan filosof pertama muslim, yakni al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa al-Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Yahya al-Balmaki (w. 857 M), Yuhana ibn Musyawaih dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berfikir rasional telah berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan kal�m (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional, yang dibangun Wasil ibn Ata�E(699-748 M) telah mendominasi pemikiran masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid (w. 760 M), Jahiz Amr ibn Bahr (w. 808 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf (752-849 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Mu`ammar ibn Abbad (w. 835 M) dan Bisyr ibn al-Mu`tamir (w. 840 M). Begitu pula dalam bidang fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinb�th) dengan istilah-istilah seperti istihs�n, istishl�h, qiy�s dan lainnya telah lazim digunakan. Tokoh-tokoh mazhab fiqh yang menelorkan metode istinb�th dengan menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), Syafi�i (767-820 M) dan Ibn Hanbal (780-855 M), hidup sebelum kedatangan filsafat Yunani. 
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran filosofis yang berjalan baik dalam masyarakat Islam, yakni dalam soal-soal teologis dan kajian hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika dan filsafat Yunani dalam Islam. 

A. Sumber Pemikiran Rasional Islam.
Jika demikian, dari mana pemikiran rasional filosofis Islam itu sendiri berawal? Sebagaimana dinyatakan para peneliti yang kritis, muslim maupun non-muslim, pemikian rasional-filosofis Islam lahir bukan dari fihak luar melainkan dari kitab suci mereka sendiri, dari al-Qur`an, khususnya dalam kaitannya dengan upaya-upaya untuk mensesuaikan antara ajaran teks dengan realitas kehidupan sehari-hari. Pada awal perkembangan Islam, ketika Rasul saw masih hidup, semua persoalan bisa diselesaikan dengan cara ditanyakan langsung kepada beliau, atau diatasi lewat jalan kesepakatakan diantara para cerdik. Akan tetapi, hal itu tidak bisa lagi dilakukan setelah Rasul wafat dan persoalan-persoalan semakin banyak dan rumit seiring dengan perkembangan Islam yang demikian cepat. Jalan satu-satunya adalah kembali kepada ajaran teks suci, al-Qur`an, lewat berbagai pemahaman. Dalam hal ini, ada beberapa model kajian resmi yang nyatanya mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan takw�. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan perenungan mendalam, karena ia berusaha �keluar�Edari makna lahiriyah (zhahir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya mengandung satu arti. Disini justru lebih mendekati model pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan qiy�s (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada penyelesaiannya secara langsung dalam teks. Misalnya, apakah larangan menimbun emas dan perak (QS. Al-Taubah, 34) itu hanya berlaku pada emas dan perak atau juga meliputi batu permata dan batu berharga? Apakah kata �mukmin�Edan �muslim�Edalam al-Qur`an juga mencakup wanita dan budak?

Bersamaan dengan itu, dalam teologi, masyarakat Islam juga dituntut untuk menyelaraskan pandangan-pandangan yang tampaknya kontradiktif dan rumit, untuk selanjutnya mensistematisasikannya dalam suatu gagasan metafisika yang utuh. Misalnya, bagaimana menyelaraskan antara sifat kemahakuasaan dan kemahabaikan Tuhan dalam kaitannya dengan maha tahu-Nya atas segala tindak manusia untuk taat atau kufur untuk kemudian dibalas sesuai perbuatannya. Bagaimana menafsirkan secara tepat bahasa antropomorfis (menyerupai sifat-sifat manusia) al-Qur`an, padahal ditegaskan pula bahwa Tuhan tidak sama dengan manusia, tidak bertangan, tidak berkaki dan seterusnya. Semua itu menggiring para intelektual muslim periode awal, khususnya para teolog untuk berfikir rasional dan filosofis, dan kenyatannya metode-metode pemecahan yang diberikan atas masalah teologis tidak berbeda dengan model filsafat Yunani. Perbedaan diantara keduanya, menurut Leaman, hanyalah terletak pada premis-premis yang digunakan, bukan pada valid tidaknya tata cara penyusunan argumen. Yakni, bahwa pemikiran teologi Islam didasarkan atas teks suci sedang filsafat Yunani didasarkan atas premis-premis logis, pasti dan baku. Setelah itu, masuklah pemikiran dan filsafat Yunani, lewat program penterjemahan. 

B. Filsafat Yunani dalam Pemikiran Islam. 

Peradaban dan pemikiran Yunani, termasuk filsafat, menurut catatan para sejarawan, telah mulai di kenal dan dipelajari oleh kaum sarjana di kota Antioch, Haran, Edessa dan Qinnesrin (wilayah Syiria utara), juga di Nisibis dan Ras`aina (wilayah dataran tinggi Iraq) sejak abad ke IV M. Kegiatan akademik ini tetap berjalan baik dan tidak terganggu oleh penaklukan tentara muslim ke wilayah tersebut yang terjadi pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab (634-644 M). Setidaknya ini bisa dibuktikan dengan masih semaraknya kajian-kajian teologi di biara Qinissirin di Syiria dan munculnya tokoh yang menghasilkan karya-karya filsafat, seperti Severas Sebokht (w. 667 M) yang mengomentari Hermeneutica dan Rhetorica Aristoteles, juga Jacob (w. 708 M) yang menulis Enchiridion dan menterjemahkan Categories karya Aristoteles kedalam bahasa Arab. 
Buku-buku dan ilmu-ilmu Yunani yang lain yang di terjemahkan ke dalam bahasa Arab dalam periode ini, yakni masa kekhalifahan Bani Ummayah (661-750 M), khususnya pada masa kekhalifahan Abd al-Malik (685-705 M) adalah terutama yang berkaitan dengan persoalan administrasi, laporan-laporan dan dokumentasi-dokumentasi pemerintahan, demi untuk mengimbangi dan melepaskan diri dari pengaruh model administrasi Bizantium-Persia. Selanjutnya, buku-buku yang berkaitan dengan ilmu-ilmu pragmatis seperti kedokteran, kimia dan antropologi. Hanya saja, karena pemerintahan lebih disibukan oleh persoalan politik dan ekonomi, usaha-usaha keilmuan ini tidak berlangsung baik.
Pemikiran filsafat Yunani benar-benar mulai bertemu dan dikenal dalam pemikiran Arab-Islam setelah masa pemerintahan Bani Abas, khususnya sejak dilakukan program penterjemahan buku-buku filsafat yang gencar dilakukan pada masa kekuasaan al-Makmun (811-833 M); suatu program yang oleh al-Jabiri dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan epistemologi bayani Arab. Program penterjemahan dan kebutuhan akan penggunaan metode filsafat ini sendiri, di dasarkan atas tuntutan kebutuhan yang ada, bahwa saat itu muncul banyak doktrin yang --kurang lebih-- hiterodok yang datang dari Iran, India, Persia atau daerah lain dari pinggiran Islam, seperti Mazdiah, Manikian, materialisme, atau bahkan dari pusat Islam sendiri sebagai akibat dari pencarian bebas yang berubah bentuk menjadi pemikiran bebas seperti penolakan terhadap wahyu dan lainnya yang dikategorikan dalam istilah �zindiq�E Untuk menjawab serangan doktrin-doktrin ini, para sarjana muslim (ulama) merasa perlu untuk mencari sistem berfikir rasional dan argumen-argumen yang masuk akal, karena metode sebelumnya, bayani sudah tidak memadai lagi untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang sangat beragam yang tidak dikenal sebelumnya. Karena itu, Ira M. Lapidus menyatakan bahwa filsafat bukan sekedar bentuk analisis secara murni tetapi telah menjadi bagian dari agama. 
Selanjutnya, metode dan pemikiran filsafat Yunani ini, dalam pemikiran Islam, pertama kali dikenalkan dan digunakan oleh al-Kindi (806-875). Dalam kata pengantar buku �Filsafat Pertama�E(al-Falsafat al-�la), yang dipersembahkan untuk khalifah al-Mu`tashim (833-842), al-Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat, serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti filsafat, yakni para pendukung bayani. Namun, karena begitu dominannya kaum bayani (fuqaha) ditambah masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan, apa yang disampaikan al-Kindi tidak begitu bergema. Meski demikian, al-Kindi telah memperkenalkan persoalan baru dalam pemikiran Islam; kesejajaran antara pengetahuan manusia dan Tuhan, dan mewariskan persoalan filsafat yang terus hidup sampai sekarang; (1) penciptaan alam semesta, bagaimana terjadinya, (2) keabadian jiwa, apa artinya dan bagaimana pembuktiannya, (3) pengetahuan Tuhan yang partikuar, apa ada hubungannya dengan astrologi dan bagaimana terjadinya. 
Metode rasional filsafat Yunani semakin masuk sebagai salah satu sistem pemikiran Arab-Islam adalah setelah masa al-Razi (865-925). Ia di kenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi dan dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Menurut al-Razi, semua pengetahuan --pada prinsipnya- dapat diperoleh manusia selama ia menjadi manusia. Akal atau rasiolah yang menjadi hakekat kemanusiaan, dan akal adalah satu-satunya alat untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka dan kebohongan.
Meski demikian, perkembangan yang pesat pada ilmu-ilmu Yunani dalam Islam berkat dukungan yang besar dari Khalifah sebagaimana diatas bukan tidak menimbulkan persoalan. Imam Ibn Hanbal (780-855 M), salah seorang imam mazhab fiqh dan orang-orang yang sepikiran dengannya dari kalangan ortodoks menunjukkan sikap yang tidak kenal kompromi terhadap ilmu-ilmu Yunani. Menurut George N. Atiyeh, penentangan kalangan ortodoks tersebut disebabkan, pertama, adanya ketakutan dikalangan ortodoks (fiqh) bahwa ilmu-ilmu Yunani akan menyebabkan berkurangnya rasa hormat umat Islam terhadap Tuhan. Kedua, adanya kenyataan bahwa mayoritas dari mereka yang mempelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani adalah orang-orang non-muslim, penganut Machianisme, orang-orang Sabia dan muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris, yang itu semua mendorong munculnya kecurigaan atas segala kegiatan intelektual dan perenungan yang mereka lakukan. Ketiga, adanya usaha untuk melindungi umat Islam dari pengaruh Machieanisme Persia khususnya maupun faham-faham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran Islam yang ditimbulkan dari pikiran-pikiran filsafat Yunani.
Kecurigaan dan penentangan kaum ortodoks terhadap ilmu-ilmu Yunani memang bukan tanpa dasar. Kenyataannya, tidak sedikit tokoh muslim yang belajar filsafat akhirnya justru meragukan dan bahkan menyerang ajaran Islam sendiri. Salah satunya adalah Ibn Rawandi (lahir 825 M). Ia menolak adanya kenabian, setelah belajar filsafat. Menurutnya, prinsip kenabian bertentangan dengan akal sehat, begitu pula tentang syareat-syareat yang dibawanya, karena semua itu telah bisa dicapai oleh akal; akal telah mampu mengapai apa yang benar dan salah, yang baik dan jahat dan seterusnya. Contoh lain adalah al-Razi (865-925 M). Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan; (1) bahwa akal telah memadai untuk membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan rasio manusia telah mampu mengenal Tuhan dan mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak ada gunanya seorang nabi. (2) Tidak ada pembenaran untuk pengistemewaan beberapa orang untuk membimbing yang lain, karena semua orang lahir dengan tingkat kecerdasan yang sama, hanya pengembangan dan pendidikan yang membedakan mereka, (3) bahwa ajaran para nabi ternyata berbeda. Jika benar bahwa mereka berbicara atas nama Tuhan yang sama, mestinya tidak ada perbedaan. 
Usaha penentangan kaum ortodoks yang dipelopori Ibn Hanbal terhadap ilmu-ilmu Yunani diatas mencapai puncak dan keberhasilannya pada masa khalifah al-Mutawakkil (847-861 M). Tampilnya al-Mutawakkil dengan kebijakannya yang mendukung kaum ortodoks (salaf) menyebabkan kalangan yang tadinya tertindas ini memperoleh angin dan muncul kepermukaan menggantikan posisi orang-orang Muktazilah khususnya dan para ahli filsafat umumnya, dan mulailah terjadi �revolosi�E orang-orang yang tidak sefaham dipecat dan diganti dari kalangan salaf. Al-Kindi yang ahli filsafat adalah salah satu contoh, dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena tidak sefaham dengan sang khalifah yang salaf. 
Terkena tindakan keras dan resmi pemerintah tersebut, untuk sementara, khususnya di ibu kota Baghdad, filsafat mengalami kemunduran, setidaknya tidak mengalami perkembangan berarti, karena tidak bisa diajarkan secara bebas dan terbuka. Akan tetapi, diluar Baghdad, di kota-kota propinsi otonom, khususnya di Aleppo dan Damaskus, kajian-kajian filsafat tetap giat dilakukan, sehingga melahirkan seorang filosof besar, yakni al-Farabi (870-950). Tokoh yang dikenal sebagai folosof paripatetik ini tidak hanya menggunakan metode burhani dalam filsafatnya tetapi bahkan berhasil meletakkan filsafat Aristoteles sebagai dasar-dasar filsafat Islam sehingga dianggap sebagai �guru kedua�E(al-mu`allim al-ts�ni) setelah Aristoteles sebagai �guru pertama�E(al-mu`allim al-aww�l). 
Selain itu, al-Farabi juga menempatkan burhani sebagai metode paling baik dan unggul, sehingga ilmu-ilmu filsafat yang memakai metode burhani dinilai lebih tinggi kedudukannya dibanding ilmu-ilmu agama; teologi (ilm al-kal�m) dan yurisprodensi (fiqh), yang tidak mempergunakan metode burhani. Dalam hal ini ia membuat tiga klasifikasi keilmuan; ilmu-ilmu filsafat, ilmu-ilmu religius dan ilmu-ilmu bahasa. Menurutnya, ilmu-ilmu filsafat berada dalam hierarki paling tinggi dan unggul disusul kemudian ilmu-ilmu religius dan ilmu bahasa. Yang termasuk ilmu-ilmu filsafat adalah metafisika, matematika, ilmu-ilmu alam dan ilmu politik. Sampai disini filsafat Yunani telah memperoleh tempat dan posisi yang cukup mapan dalam percaturan pemikiran Arab-Islam. Dukungan dan pembelaan yang ketat dari al-Farabi telah menyebabkan filsafat memperoleh tempat yang demikian, bahkan melebihi posisi ilmu-ilmu yang diklaim sebagai ilmu religius.
Dengan posisi seperti itu, maka tidak mengherankan jika dalam waktu yang tidak lama, pemikiran filsafat Yunani segera menduduki posisi puncak dalam percaturan pemikiran Arab-Islam, yakni pada masa Ibn Sina (980-1037 M). Dalam filsafat, seperti halnya al-Farabi, Ibn Sina menegakkan bangunan Neoplatonisme diatas dasar kosmologi Aristoteles-Plotinus, dimana dalam bangunan tersebut digabungkan konsep pembangunan alam wujud menurut faham emanasi. Dalam kaitannya dengan kenabian, Ibn Sina juga berusaha membuktikan adanya kenabian, dengan menyatakan bahwa kenabian merupakan bagian tertinggi dari sukma yang disebut �akal�E berbeda dengan al-Farabi yang menyatakan bahwa kenabian adalah suatu bentuk imajinasi tertinggi. Dengan prestasi-prestasi yang hebat dalam filsafat, Ibn Sina kemudian diberi gelar �Guru Utama�E(al-Syaikh al-Rais). 
Akan tetapi, segera setelah Ibn Sina, filsafat Yunani kembali mengalami kemunduran karena serangan al-Ghazali, meski al-Ghazali sendiri sebenarnya tidak menyerang inti filsafat. Lewat tulisannya dalam Tah�fut al-Fal�sifah yang diulangi lagi dalam al-Munqid min al-Dlal�l, al-Ghazali, sebenarnya hanya menyerang persoalan metafisika, khususnya pemikiran filsafat al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina (980-1037), meski serangan pada kedua tokoh ini sebenarnya tidak tepat, juga pada pemikiran para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM), Anaximandros (547 SM), Anaximenes (528 SM) dan Heraklitos (480 SM) yang dengan mudah bisa dinilai posisinya dalam aqidah oleh orang awam, bukan ilmu logika atau epistimologinya, karena al-Ghazali sendiri mengakui pentingnya logika dalam pemahaman dan penjabaran ajaran-ajaran agama. Bahkan, dalam al-Mustashf�Efi `ul�m al-fiqh, sebuah kitab tentang kajian hukum, al-Ghazali menggunakan epistemologi filsafat, yakni burhani. Akan tetapi, kebesaran al-Ghazali sebagai �Hujjat al-Isl�m�Etelah begitu mengungkung kesadaran masyarakat muslim, sehingga tanpa mengkaji kembali persoalan tersebut dengan teliti mereka telah ikut menyatakan perang dan antipati terhadap filsafat. Bahkan, sampai sekarang di perguruan tinggi sekalipun, jika ada kajian filsafat umumnya masih lebih banyak dilihat pada sisi sejarahnya, bukan metodologi, sistematika atau substansi pemikirannya. 
Filsafat Yunani, khususnya Aristotelian, kemudian muncul lagi dalam arena pemikiran Islam pada masa Ibn Rusyd (1126-1198). Lewat tulisannya dalam Tah�fut al-Tah�fut, Ibn Rusyd berusaha mengangkat kembali filsafat Aristoteles dari serangan al-Ghazali. Namun, usaha ini rupanya kurang berhasil, karena menurut Nurcholish, balasan yang diberikan Ibn Rusyd lebih bersifat Aristotelian sementara serangan al-Ghazali bersifat Neo-platonis. Meski demikian, jelas bahwa dalam bandingannya dengan epistemologi Arab-Islam, Ibn Rusyd lebih mengunggulkan epistemologi filsafat dibanding epistemologi Arab-Islam. Menurutnya, metode burhani (demonstratif) yang dipakai dalam filsafat adalah metode yang sangat bagus dan berguna untuk kalangan elite terpelajar, sementara metode dialektika (jadal) yang dipakai dalam teologi dan yurisprodensi adalah metode biasa yang sesuai untuk kalangan menengah dan kalangan awam. 
Setelah Ibn Rusyd, filsafat yang nota bene dari Yunani itu tidak lagi terdengar gemanya dalam pemikiran Islam hingga saat ini.

Dikalangan elite terpelajar madzhab ini, pemikiran filsafat masih tetap berjalan dan hidup, sehingga masih lahir tokoh-tokoh terkemuka seperti Mulla Sadra (1571-1640), Mullah Hadi (1797-1873) dan lainnya. 

C. Penutup.
Dalam bagian akhir ini, ada tiga hal yang perlu disampaikan. Pertama, bahwa perjalanan pemikiran filsafat Islam ternyata mengalami pasang surut; pertama-tama disambut dengan baik karena diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi pemikiran-pemikiran �aneh�E tapi kemudian dicurigai karena ternyata tidak jarang justru digunakan untuk menyerang ajaran agama yang dianggap baku, khususnya pada masa Ibn Hanbal. Setelah itu, filsafat dibela kembali oleh al-Farabi dan mencapai puncak pada masa Ibn Sina, tapi kemudian jatuh lagi oleh serangan al-Ghazali, bangkit lagi pada masa Ibn Rusyd tapi akhirnya tidak terdengar suaranya, sampai sekarang, kecuali dalam mazhab Syi`ah.

Kedua, bahwa filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam tidak hanya logika Aristoteles, tetapi juga pemikian mistik Neo-platonis dan yang lain. Hal ini bisa dilihat dari beragamnya model filsafat yang ada dalam Islam. Misalnya, al-Farabi dan Ibn Sina yang Platonis dalam konsepnya tentang emanasi, dan Ibn Rusyd yang Aristotelian ketika menjawab serangan al-Ghazali. 

Ketiga, kecurigaan dan penentangan yang diberikan oleh sebagian tokoh muslim terhadap logika dan pemikiran filsafat, bukan semata-mata disebabkan bahwa ia berasal dari luar Islam tetapi lebih didasarkan atas kenyataan bahwa �saat itu-- filsafat mengandung dampak yang berbahaya bagi aqidah masyarakat. Apa yang dilakukan Ibn Rawandi (lahir 825 M) dan al-Razi (865-925 M) yang sampai menolak kenabian karena mengikuti filsafat, juga apa yang dilakukan oknum tertentu yang mengatasnamakan filsafat pada masa al-Ghazali adalah bukti nyata tentang hal itu [.]


DAFTAR PUSTAKA
Khudori Soleh 'Perjalanan Filsafat Dalam Pemikiran ISlam'
Abdullah, Amin, �Teologi dan Filsafat dalam Perspektif Globalisasi�E dalam Mukti Ali, Agama Dalam Pergumulan Masyarakat, Yogya, Tiara Wacana, 1998
Amien, Miska M., Epistemologi Islam, Jakarta, UI Press, 1983
Amin, Ahmad, Dhuh�Eal-Isl�m, Kairo, Maktabah al-Nahdlah al-Mishriyah, tt
Aqqad, Abbas Mahmud, Filsafat Pemikiran Ibn Sina, Solo, Pustaka Mantiq, 1988
Arsyad, Natsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah, Jakarta, Srigunting, 1995
Atiyeh, George N., Al-Kindi Tokoh Filosof Muslim, Bandung, Pustaka, 1983
Bakar, Osman, Hierarki Ilmu, Bandung, Mizan, 1997
Bakar, Osman, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani L, Bandung, Pustaka Hidayah, 1995
Coulson, Noel J., Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta, P3M, 1987
Fakhry, Madjid, A History of Islamic Philosophy, Colombia University Press, 1983
Gardet, Louis & Anawati, Falsafah al-Fikr al-D�i, Beirut, Dar al-Ulum, 1978
Ghazali, al-Munqid min al-Dlal�l, Bairut, Al-Maktabah al-Sab�iyah, tt
Ghazali, Tah�fut al-Fal�sifah, ed. Sulaiman Dunya, Mesir, Dar al-Maarif, 1966
Ghurabi, Ali Musthafa, T�rikh al-Fir�q al-Islami, Kairo, Maktabah wa Mathba`ah, tt
Hanafi, Ahmad, Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1974
Hasan, Hasyim, Al-As�s al-Manhajiyah, Kairo, Dar al-Fikr, tt
Hasymi, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975
Hitti, Philip K., History of The Arabs, New York, Martin Press, 1986
Jabiri, M. Abed, Takw� al-Aql al-Arabi, Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991
Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies, Cambridge University Press, 1999
Leaman, Oliver Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Rajawali Pres, 1988.
Machasin, Kelahiran dan Pertumbuhan Ilmu Teologi, makalah pada mata kuliah studi ilmu teologi, program pascasarjana (S-2), IAIN Yogya, 1997
Madkur, Ibrahim, Filsafat Islam, terj. Yudian Wahyudi, Jakarta, Rajawali Press, 1996
Mahdi, Muhsin, �Al-Farabi dan Fondasi Filsafat Islam�E Jurnal al-Hikmah, 4, Feb 1992
Nasr, Husain, Tiga Pemikir Islam, terj. A. Mujahid, Bandung, Risalah, 1986
Nasyar, Ali Sami, Man�hij al-Bahts ind Mufakkiri al-Isl�m, Bairut, Dar al-Fikr, 1967
Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta, Yayasan Obor, 1991
Rahmat, Jalaludin, �Hikmah Muta`aliyah�E Jurnal Al-Hikmah, edisi 10, September, 1993
Soleh, Ach. Khudori, Kegelisahan Al-Ghazali, Bandung, Pustaka Hidayah, 1997
Syarif, MM., Para Filosof Muslim, Bandung, Mizan, 1996
Watt, MM., Islamic Philosophy and Theology, Edinburg, Edinburg University Press, 1992
Tulisan ini merupakah hasil kliping dari artikel-artikel maupun buku yang membahas mengenai pemikiran Al-Ghazali tentang pendidikan. Penulis hanya melakukan elaborasi pendapat maupun pernyataan dari sumber pustaka dan berusaha meminimalisir pendapat pribadi penulis dalam tulisan hasil kliping ini.

Pendahuluan
Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Miskawaih (Nata, 2003), merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik dari seseorang. Dalam pendidikan akhlak ini, kriteria benar dan salah untuk menilai perbuatan yang muncul merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunah sebagai sumber tertinggi dalam ajaran Islam. Dengan demikian maka pendidikan akhlak dapat dikatakan sebagai pendidikan moral dalam diskursus pendidikan Islam. Telaah lebih dalam terhadap konsep akhlak yang telah dirumuskan oleh para tokoh pendidikan Islam masa lalu seperti Ibnu Miskawaih, al-Qabisi, Ibn Sina, al-Ghazali dan al-Zarnuji, menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia. Namun demikian dalam implementasinya, pendidikan akhlak yang dimaksud memang masih tetap cenderung pada pengajaran benar dan salah seperti halnya pendidikan moral. Menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia dengan pendidikan akhlak sebagai trade mark di satu sisi, dan menjamurnya tingkat kenakalan perilaku amoral remaja di sisi lain menjadi bukti kuat bahwa pendidikan akhlak dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam sepertinya masih belum optimal.
Pandangan Al-Ghazali sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam dianggap sangat menarik untuk diangkat karena dalam ruang-ruang kuliah studi Islam selama ini diajarkan bahwa al-Ghazali adalah biang keladi kemunduran umat Islam, seperti banyak terdapat pada sebagian referensi tentang al-Ghazali (Husaini, 2007). Boleh jadi pada sebagian pemikiran al-Ghazali terdapat kekeliruan, namun tidaklah adil jika hal itu kemudian menjadi dasar untuk menyudutkan al-Ghazali karena ia juga berandil dalam menginspirasi kemajuan umat Islam.
Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan lebih cenderung pada pendidikan moral dengan pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada anak didik. Sebagaimana rumusannya tentang akhlak sebagai sifat yang mengakar dalam hati yang mendorong munculnya perbuatan tanpa pertimbangan dan pemikiran, sehingga sifat yang seperti itulah yang telah mewujud menjadi karakter seseorang. Konsep pendidikan ini erat sekali hubungannya dengan tujuan pendidikan untuk membentuk karakter positif dalam perilaku anak didik dimana karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.

Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H (1058 M) di desa Thus wilayah Khurasan yang sekarang termasuk wilayah Iran. Al-Ghazali memulai pendidikan dasarnya dengan belajar agama pada seorang ustadz setempat, Ahmad bin Muhammad Razkafi. Selanjutnya ia menjadi santri Abu Nashr al-Isma’il di Jurjan dan lalu belajar ilmu kalam, ilmu ushul, madzab figh, retorika, logika, tasawuf, dan filsafat pada al-Juwainy. Keunggulan ilmu al-Ghazali membuatnya menjadi sangat tersohor sehingga pada tahun 484 H (1091 M), ia diangkat menjadi ustadz (dosen) pada Universitas Nidhamiyah di Baghdad. Setahun setelah ia berusia 34 tahun, al-Ghazali diangkat menjadi pimpinan (rektor) pada universitas tersebut karena prestasinya yang begitu luar biasa. Selama menjadi rektor, al-Ghazali banyak menulis buku di bidang fiqh, ilmu kalam, dan buku-buku sanggahan terhadap aliran-aliran kebatinan, Ismailiyah, dan filsafat. Setelah 4 tahun menjadi rektor di universitas tersebut, ia mengalami krisis keraguan yang meliputi akidah dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia melanglang buana antara Syam, Baitul Maqdis, dan Hijaz selama kurang lebih 10 tahun dan menghabiskan waktunya untuk khalwat, ibadah, i’tikaf, dan menjalankan ibadah haji serta berziarah ke makam nabi-nabi. Setelah dibujuk untuk kembali mengajar di universitasnya, akhirnya al-Ghazali kembali menjadi dosen pada tahun 499 H (1106 M). Tetapi, tidak lama setelah itu, ia kembali ke tempat asalnya di desa Thus dan menghabiskan sisa umurnya untuk membaca al-Qur’an dan hadist serta mengajar. Di samping rumahnya, al-Ghazali mendirikan madrasah untuk para santri yang mengaji dan sebagai tempat berkhalwat bagi para sufi. Al-Ghazali menutup usianya pada tahun 505 H (1111 M) yaitu pada usia 55 tahun.

Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan
Dalam memahami pemikiran al-Ghazali, tentunya harus dilakukan banyak kajian terhadap literatur yang mengupas riwayat hidupnya maupun karya-karyanya yang sangat monumental dalam berbagai disiplin ilmu. Berkaitan dengan profesinya sebagai pemikir, al-Ghazali telah mengkaji secara mendalam dan kronologis minimal empat disiplin ilmu sehingga ia menjadi ahli ilmu kalam atau teolog, filosof, seorang sufi karena ilmu tasawufnya, dan juga seorang yang anti ilmu kebatinan.
Pandangan al-Ghazali yang sangat terkenal adalah pandangannya tentang hakekat manusia, yang berlandaskan pada esensi manusia yaitu jiwanya yang bersifat kekal dan tidak hancur. Ada empat istilah yang sangat populer dikemukakan oleh al-Ghazali dalam pembahasannya yang begitu mendalam tentang esensi manusia, yaitu tentang hati (qalb), ruh, jiwa (nafs), dan akal (aql).
Mengenai tujuan hidup manusia, al-Ghazali menyatakan bahwa:
“Segala tujuan manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak terorganisasikan selain dengan terorganisasinya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampaikan kepada Allah bagi orang yang mau memperbuatnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi.”
Dari pernyataannya dapat disimpulkan bahwa manusia memiliki dua tujuan hidup. Yang pertama adalah sebagai wakil Allah di dunia untuk melaksanakan kehendakNya atau tujuan duniawi. Yang kedua adalah tujuan akhirat, yaitu mendapatkan kenikmatan surgawi yang berpuncak saat manusia dapat bertemu Penciptanya.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran, al-Ghazali banyak mencurahkan perhatiannya. Analisisnya terhadap esensi manusia mendasari pemikirannya pada kedua bidang ini. Menurut al-Ghazali, manusia dapat memperoleh derajat atau kedudukan yang paling terhormat di antara sekian banyak makhluk di permukaan bumi dan langit karena ilmu dan amalnya. Sesuai dengan pandangan al-Ghazali terhadap manusia dan amaliahnya, yaitu bahwa yang amaliah itu tidak akan muncul dan kemunculannya hanya akan bermakna kecuali setelah ada pengetahuan. Sehingga wajar bila dalam karyanya yang sangat monumental, Ihya Ulumiddin, al-Ghazali mengupas ilmu pengetahuan secara panjang lebar dalam sebuah bab tersendiri, Kitabul Ilmi. Dalam pembahasannya tentang ilmu, al-Ghazali menggambarkannya dalam tatanan sosial masyarakat, dalam artian bahwa sebuah ilmu atau profesi tertentu diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang diwajibkan dalam tatanan tersebut. Secara terperinci, ia menggunakan pendekatan epistemologi, ontologi, dan aksiologi.
Ditilik dari Ihya Ulumiddin bab pertama, al-Ghazali adalah penganut kesetaraan dalam dunia pendidikan, ia tidak membedakan kelamin penuntut ilmu, juga tidak pula dari golongan mana ia berada, selama dia islam maka hukumnya wajib. Tidak terkecuali siapapun. Ia juga termasuk penganut konsep pendidikan tabula rasa (kertas putih) dan pendidikan bisa mewarnainya dengan hal-hal yang benar.

Pengertian Pendidikan
Sekalipun Ihya Ulumiddin dianggap sebagai kitab intisari pemikiran al-Ghazali yang paling komplit, pengertian pendidikan masih belum dirumuskan secara jelas karena pembahasannya memang belum sampai pada tahap tersebut. Tetapi walaupun demikian, pengertian pendidikan menurut al-Ghazali dapat ditelusuri dari pernyataan-pernyataan yang diungkapkan melalui karyanya sebagaimana kutipan berikut:
“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi.”
“Dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan ilmu yang beku yang tidak berkembang.”
Pada kutipan pertama, kata ‘hasil’ menggambarkan proses, kata ‘mendekatkan diri kepada Allah’ menunjukkan tujuan, dan kata ‘ilmu’ menunjukkan alat. Sedangkan pada kutipan kedua dijelaskan perihal sarana penyampaian ilmu yaitu melalui pengajaran.
Mengenai keberlangsungan proses pendidikan, al-Ghazali menerangkan bahwa batas awal berlangsungnya pendidikan adalah sejak bersatunya sperma dan ovum sebagai awal kejadian manusia. Adapun mengenai batas akhir pendidikan adalah tidak ada karena selama hayatnya manusia dituntut untuk melibatkan diri dalam pendidikan sehingga menjadi insan kamil. Ditambahkan pula bahwa pendidikan dapat dipahami sebagai satu-satunya jalan untuk menyebarluaskan keutamaan, mengangkat harkat dan martabat manusia, dan menanamkan nilai kemanusiaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kemakmuran dan kejayaan suatu bangsa sangat bergantung pada sejauhmana keberhasilan dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Selain itu, pengajaran dan pendidikan harus dilaksanakan secara bertahap, disesuaikan dengan perkembangan psikis dan fisik anak.
Dari berbagai hadist yang dikutip oleh al-Ghazali dalam bukunya dan juga beberapa pernyataannya tentang pendidikan dan pengajaran, dapat dirumuskan sebuah pengertian tentang pendidikan oleh al-Ghazali yaitu “proses memanusiakan manusia sejak masa kejadiannya sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga menjadi manusia sempurna”.

Tujuan Pendidikan
Menurut al-Ghazali, pendidikan dalam prosesnya haruslah mengarah kepada pendekatan diri kepada Allah dan kesempurnaan insani, mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu kebahagiaan di dunia dan akhirat. Sehingga tujuan pendidikan dirumuskan sebagai pendekatan diri kepada Allah, yaitu untuk membentuk manusia yang shalih, yang mampu melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada Allah dan kewajiban-kewajibannya kepada manusia sebagai hambaNya.
Tujuan pendidikan jangka panjang yang dirumuskan sebagai pendekatan diri kepada Allah, dapat dicapai dengan melaksanakan ibadah wajib dan sunnah serta mengkaji ilmu-ilmu fardhu ‘ain seperti ilmu syariah. Sementara, orang-orang yang hanya menekuni ilmu fardhu kifayat sehingga memperoleh profesi-profesi tertentu dan akhirnya mampu melaksanakan tugas-tugas keduniaan dengan hasil yang optimal sekalipun, tetapi tidak disertai dengan hidayah al-din, maka orang tersebut tidak akan semakin dekat dengan Allah.
Tujuan pendidikan jangka pendek menurut al-Ghazali adalah diraihnya profesi manusia sesuai dengan bakat dan kemampuannya dengan mengembangkan ilmu pengetahuan yang fardhu ‘ain dan fardhu kifayat. Masalah kemuliaan duniawi bukanlah tujuan dasar dari seseorang yang melibatkan diri dalam dunia pendidikan. Seorang penuntut ilmu seperti siswa, mahasiswa, guru, atau dosen, akan memperoleh derajat, pangkat, dan segala macam kemuliaan lain yang berupa pujian, kepopularitasan, dan sanjungan manakala ia benar-benar mempunyai motivasi hendak meningkatkan kualitas dirinya melalui ilmu pengetahuan untuk diamalkan. Sebab itulah, al-Ghazali menegaskan bahwa langkah awal seseorang dalam proses pembelajaran adalah untuk menyucikan jiwa dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela, dan motivasi pertama adalah untuk menghidupkan syariat dan misi Rasulullah.

Subyek Didik
Dalam pembahasan mengenai pendidikan, manusia yang bergantung disebut murid dan yang menjadi tempat bergantung disebut guru, sehingga keduanya disebut sebagai subyek didik. Al-Ghazali sangat mengagungkan posisi guru diatas segalanya sebagaimana ungkapannya bahwa hak guru atas muridnya lebih agung dibandingkan hak orang tua atas anaknya karena orang tua hanya penyebab keberadaan anaknya di alam fana dan guru lah penyebab hidupnya yang kekal. Ia juga menambahkan bahwa makhluk yang paling mulia di muka bumi adalah manusia, sedangkan yang paling mulia penampilannya ialah kalbunya, guru atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan, dan menyucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat kepada Allah.
Berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru profesional, al-Ghazali menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
(1) Guru adalah orang tua kedua bagi murid
(2) Guru adalah pewaris ilmu nabi
(3) Guru adalah penunjuk jalan dan pembimbing keagamaan murid
(4) Guru adalah sentral figur bagi murid
(5) Guru adalah motivator bagi murid
(6) Guru adalah seseorang yang memahami tingkat perkembangan intelektual murid
(7) Guru sebagai teladan bagi murid
Selanjutnya, al-Ghazali menguraikan hal-hal yang harus dipenuhi murid dalam proses belajar mengajar sebagaimana berikut:
(1) Belajar merupakan proses jiwa
(2) Belajar menuntut konsentrasi
(3) Belajar harus didasari sikap tawadhuk
(4) Belajar bertukar pendapat hendaklah telah mantap pengetahuan dasarnya
(5) Belajar harus mengetahui nilai dan tujuan ilmu pengetahuan yang dipelajari
(6) Belajar secara bertahap
(7) Belajar tujuannya adalah untuk berakhlakul karimah

Etika Belajar
Dalam hal etika belajar, al-Ghazali menjelaskan ada 10 hal yang harus dilakukan oleh seorang pelajar yaitu:
Pertama, membersihkan jiwa dari kejelekan akhlak, dan keburukan sifat karena ilmu itu adalah ibadahnya hati, shalat secara samar dan kedekatan batin dengan Allah.
Kedua, menyedikitkan hubungannya dengan sanak keluarga dari hal keduniawian dan menjauhi keluarga serta kampung halamannya. Hal ini menurut al-Ghazali agar seorang pelajar bisa konsentrasi dalam apa yang menjadi fokusnya.
Ketiga, tidak sombong terhadap ilmu dan pula menjauhi tindakan tidak terpuji terhadap guru. Bahkan menurut al-Ghazali seorang pelajar haruslah menyearhkan segala urusannya pada sang guru seperti layaknya seorang pasien yang menyerahkan segala urusannya pada dokter.
Keempat, menjaga diri dari mendengarkan perselisihan yang terjadi diantara manusia, karena hal itu dapat menyebabkan kebingungan, dan kebingungan pada tahap selanjutnya dapat menyebabkan pada kemalasan.
Kelima, tidak mengambil ilmu terpuji selain mendalaminya hingga selesai dan mengetahui hakikatnya. Karena keberuntungan melakukan sesuatu itu adalah menyelami (tabahhur) dalam sesuatu yang dikerjakannya.
Keenam, janganlah mengkhususkan pada satu macam ilmu kecuali untuk tertib belajar.
Ketujuh, janga terburu-buru atau tergesa-gesa kecuali kita telah menguasai ilmu yang telah dipelajari sebelumnya. Karena sesungguhnya ilmu itu adalah sistematik, satu bagian saling terkait dengan bagian yang lainnya.
Kedelapan, harus mengetahui sebab-sebab lebih mulianya suatu disiplin ilmu dari pada yang lainnya. Seorang murid terlebih dahulu harus mengkomparasikan akan pilihan prioritas ilmu yang akan dipelajari.
Kesembilan, pelurusan tujuan pendidikan hanya karena Allah dan bukan karena harta dan lain sebagainya.
Kesepuluh,harus mengetahui mana dari suatu disiplin ilmu yang lebih penting (yu’atsar al-rafi’ al-qarib ‘ala al-ba’id)

Etika Mengajar
Dalam hal etika mengajar, al-Ghazali mengungkapkan bahwa ada 8 hal yang harus diperhatikan oleh seorang guru, sebagaimana berikut:
Pertama, memperlakukan para murid dengan kasih sayang seperti anaknya sendiri.
Kedua, mengikuti teladan Rasul, tidak mengharap upah, balasan ataupun ucapan terima kasih (ikhlas).
Ketiga, jangan lupa menasehati murid tentang hal-hal yang baik.
Keempat, jangan lupa menasehati murid dan mencegahnya dari akhlak tercela, tidak secara terang-terangan tapi hendaknya gunakan sindiran. Jangan lupa untuk mengerjakannya terlebih dahulu karena pendidikan dengan sikap dan perbuatan jauh lebih efektif daripada perkataan
Kelima, jangan menghina disiplin ilmu lain.
Keenam, terangkanlah dengan kadar kemampuan akal murid. (Hal inilah yang dibut dalam balaghah sebagai kefashihan).
Ketujuh, hendaknya seorang guru harus mengajar muridnya yang pemula dengan pelajaran yang simpel dan mudah dipahami, karena jika pelajarannya terlalu muluk-muluk maka hal tersebut akan membuat murid merasa minder dan tidak percaya diri.
Kedelapan, seorang guru harus menjadi orang yang mengamalkan ilmunya.

Kurikulum Pendidikan
Dalam menguraikan pengertian kurikulum menurut al-Ghazali, ada dua hal yang sangat menarik yaitu klasifikasinya terhadap ilmu pengetahuan dengan sangat terperinci sebagaimana skema yang telah digambarkan pada halaman sebelumnya, dan pemikirannya tentang manusia berikut segala potensi yang dimilikinya sejak ia dilahirkan. Ditambahkan olehnya bahwa kurikulum pendidikan harus disusun dan selanjutnya disampaikan kepada murid sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan psikisnya, sehingga pelajaran harus disampaikan secara bertahap dengan memperhatikan teori, hukum, dan periodisasi perkembangan anak. Pentahapan dalam kurikulum yang dilakukan olehnya, sangat sesuai dengan proses pendidikan anak yang diajarkan oleh nabi Muhammad seperti diriwayatkan melalui hadist. Jika dijabarkan, perkembangan usia anak berdasarkan didaktis menurut Rasulullah adalah:
(1) Usia 0-6 tahun
(2) Usia 6-9 tahun
(3) Usia 9-13 tahun
(4) Usia 13-16 tahun
(5) Usia 16 tahun dan seterusnya
Implikasi dari hadist tersebut, pertama yaitu bahwa usia 16 adalah batas minimal bagi orang tua untuk mendidik dan membimbing anaknya agar dapat mandiri; kedua, anak pada hakekatnya sudah dapat dilepas oleh orang tua sehingga tidak boleh lagi menggantungkan diri pada orang tua untuk menghidupi kehidupannya sendiri.

Metode Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Pentahapan dalam kurikulum pendidikan telah melahirkan pada penekanan metodik khusus pendidikan menurut al-Ghazali. Dan tampak sekali bahwa al-Ghazali juga melakukan penekanan pada pendidikan agama dan akhlak. Berikut ini adalah metodik khusus pendidikan menurut al-Ghazali:
(1) Metodik khusus pendidikan agama
(2) Metodik khusus pendidikan akhlak

Evaluasi Pendidikan
Dalam bahasa Arab, kata yang paling dekat dengan kata evaluasi adalah muhasabah, yang berarti menghitung atau memperkirakan. Al-Ghazali menggunakan kata tersebut dalam menjelaskan tentang evaluasi diri setelah melakukan aktivitas. Surat al-Hasyr ayat 18 dijadikan landasan berpijak oleh al-Ghazali dalam menguraikan tentang evaluasi diri, sebagaimana dikutip dalam karyanya. Sehingga dapat dirumuskan bahwa pengertian evaluasi adalah suatu usaha memikirkan, memperkirakan, membandingkan, menimbang, mengukur, dan menghitung aktivitas diri dan orang lain yang telah dikerjakan terkait dengan tujuan yang telah dicanangkan untuk meningkatkan usaha dan aktivitas menuju tujuan yang lebih baik di waktu mendatang. Subyek evaluasi yang terlibat dalam proses kependidikan tersebut dapat meliputi pimpinan lembaga, subyek didik, wali murid, dan tenaga administrasi.
Tujuan evaluasi secara umum, sebagaimana kutipan sabda Nabi yang dikutip oleh al-Ghazali, adalah sebagai berikut:
“Jika kau telah merencanakan suatu pekerjaan atau suatu program kerja, maka pikirkanlah akibat atau hasil akhirnya. Jika kemungkinan benar (menguntungkan) maka teruskan, tapi jika kemungkinan sesat (merugikan) maka hentikan rencana itu.”
Sehingga tujuan dari evaluasi pendidikan dapat dirumuskan sebagai suatu upaya untuk mengontrol efektivitas dan efisiensi usaha dan sarana; mengetahui segi-segi yang mendukung dan menghambat jalannya proses kependidikan menuju tujuan. Segi-segi yang mendukung dikembangkan, dan segi-segi yang menghambat diperbaiki atau diganti dengan usaha atau sarana lain yang lebih menguntungkan.
Sebagaimana sabda Nabi yang dikutip oleh al-Ghazali berikut ini, bahwa aktivitas kependidikan dalam satuan waktu yang telah ditentukan secara periodik, seperempat dari satuan waktu tersebut digunakan untuk mengadakan evaluasi:
“Seyogyanya bagi orang yang berakal mempunyai empat bagian waktu, dan satu bagian waktu darinya digunakan untuk mengevaluasi dirinya.”

Pendekatan Pendidikan Al-Ghazali
Al-Ghazali menjelaskan bagaimana seorang pelajar harus bersikap terhadap ilmu dan gurunya. Ia mengemukan metode belajar dan metode mengajar. Dan apa yang telah dikemukakan al-Ghazali tersebut adalah lebih moderat ketimbang apa yang kemudian diterjemahkan ulang dan banyak penambahan di sana sini oleh pengagumnya yang bernama al-Zarnuji yang lebih berorientasi pada etika murid pada dunia tasawuf dan tarekat.
Penjelasan al-Ghazali juga menyinggung metode pengajaran keteladanan dan kognitifistik. Selain itu ia juga memakai pendekatan behavioristik sebagai salah satu pendekatan dalam pendidikan yang dijalankan. Hal ini tampak dalam pandangannya yang menyatakan jika seorang murid berprestasi hendaklah seorang guru mengapresiasi murid tersebut, dan jika melanggar hendaklah diperingatkan. Tetapi bentuk pengapresiasian gaya al-Ghazali tentu berbeda dengan pendekatan behavioristik dalam Eropa modern yang memberikan reward and punishment-nya dalam bentuk kebendaan dan simbol-simbol materi. Al-Ghazali menggunakan tsawab (pahala) dan uqubah (dosa) sebagai reward and punishment-nya.
Disamping pendekatan behavioristik diatas, al-Ghazali juga mengelaborasi dengan pendekatan humanistik yang mengatakan bahwa para pendidik harus memandang anak didik sebagai manusia secara holistik dan mengahrgai mereka sebagai manusia. Bahasa al-Ghazali tentang hal ini adalah bagaimana seorang guru harus bersikap lemah lembut dan penuh dengan kasih sayang pada murid selayaknya mereka adalah anak kandung sendiri. Dengan ungkapan seperti ini tentu al-Ghazali menginginkan sebuah pemanusiaan anak didik oleh guru.
Dalam pandangan al-Ghazali, pendidikan tidak semata-mata suatu proses yang dengannya guru menanamkan pengetahuan yang diserap oleh siswa, yang setelah proses itu masing-masing guru dan murid berjalan di jalan mereka yang berlainan. Tetapi lebih dari itu, yaitu sebuah interaksi yang saling mempengaruhi dan menguntungkan antara guru dan murid dalam tataran yang relatif sama, yang pertama mendapatkan jasa karena memberikan pendidikan dan yang terakhir mengolah dirinya dengan tambahan pengetahuan.
Tetapi hal yang paling nampak dalam kacamata al-Ghazali tentang pendidikan adalah bagaimana ia membangun karakter pendidikan, ia sangat konsisten dalam masalah etika pendidikan. Pembahasan masalah ahklak atau etika tidak saja tampak dalam Ihya Ulmuddin tapi juga di Ayyuha al-Walad , Mizan al-Amal dan Bidayah al-hidayah. Dalam kitab yang terkhir ini persinggungan al-Ghazali dengan tasawuf sangat kental sekali. Yang menarik dalam semua kitab ini al-Ghazali menggunakan gaya narasi untuk mengungkapkan pemikirannya. Bahkan semenjak Tahafut al-Falasifah, ia tak segan menggunakan kata pengganti pertama berupa ‘aku’ atau ‘kita’. Malah dalam Ayyuha al-Walad, al-Ghazali menggunakan kata pengganti ‘engkau’ untuk menyapa pembacanya. Gaya penyusunan seperti ini kemudian banyak diadopsi oleh para pendidik sesudahnya termasuk oleh Umar Baradja dalam kitab Akhlaq lil Banin dan Ahklaq lil Banat. Mungkin inilah metode yang terbaik menurut al-Ghazali tentang proses belajar dan mengajar.

Penutup
Al-Ghazali yang berorientasi humanistik spiritual ini dapat dipandang sebagai tokoh pendidikan yang 6 abad lebih awal daripada Johan Benhard Basedow (tokoh philanthropinisme), John Locke dan Francis Bacon (tokoh empiris), Shcopenhauer (tokoh nativis), William dan Clora Stern (tokoh konvergensi), serta tokoh pendidikan dan psikolog dari Barat lainnya. Ia dianggap sebagai guru yang benar-benar berkepribadian guru; tokoh nativis yang tidak pesimis terhadap keberhasilan pendidikan, tokoh empiris yang tetap menaruh perhatian besar terhadap pembawaan. Walaupun demikian, konsep kepribadian ideal al-Ghazali lebih cenderung menghasilkan pendidikan yang beraliran konvergensi, meskipun ketiga aliran tersebut juga dapat terlihat dari pemikiran-pemikirannya.

SUMBER PUSTAKA:
Husaini, Adian. (2007). Ulama Di Buku Pelajaran. Harian Republika,
Jumat, 21 Desember 2007. http://www.republika.co.id/koran_ detail. asp?id=317533&kat_id=16. Diakses pada tanggal 18 Januari 2007.
Ilyas, R. Marpu Muhidin. (2007). Pendidikan Karakter: Isu dan
Prioritas yang Terabaikan. Tugas Akhir Mata Kuliah Isu-Isu Kontemporer Pendidikan Islam. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. http://kajiislam.wordpress.com/
2008/01/17/pendidikan-karakter-isu-dan-priritas-yang-terlupakan/. Diakses pada tanggal 18 Januari 2008.
Ilyas, R. Marpu Muhidin. (2007). Konsep Kepribadian Menurut Al-
Ghazali dan Erich Fromm: Analisa Teori Kepribadian Timur dan Barat (Sebuah Pendekatan Psikologis). Critical Review Thesis. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. http://kajiislam. wordpress.com/category/tesisku/. Diakses pada tanggal 18 Januari 2008.
Maulana, Ihsan. (2007). Pendidikan Dalam Kacamata Al-Ghazali.
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut sebagai Marxis.

Teori ini merupakan dasar teori komunisme modern. Teori ini tertuang dalam buku Manisfesto Komunis yang dibuat oleh Marx dan sahabatnya, Friedrich Engels. Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjam-jam dengan upah minimum sementara hasil keringat mereka dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya "kepemilikan pribadi" dan penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya. Untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Itulah dasar dari marxisme
A. PENDAHULUAN
Rasanya tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa falsafah tentang segala sesuatu bukan tidak lebih penting dari sesuatu itu sendiri, karena falsafahlah yang akan menentukan kemana tujuan dari sesuatu tersebut diarahkan, karena ia merupakan ide atau pembahasan yang sistematis tentang permasalahan yang sedang dihadapi, sebagaimana pula masalah pendidikan.
Brodi, seorang pakar filsafat pendidikan, sebagaimana dikutip Muhaimin dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, mengatakan bahwa tugas filsafat pendidikan Islam adalah menyelidiki suatu persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika, maupun kombinasi dari semuanya. 
Dalam kaitannya dengan pemikiran Ibnu Khaldun mengenai filsafat pendidikan, dapat dikatakan bahwa pemikiran yang lahir pada pertengahan abad XIV itu telah mengakomodir ide-ide falsafah pendidikan yang masih aktual sampai hari ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Ibnu Khaldun pada bab IV dari Muqaddimahnya, bahwa ilmu pendidikan bukan sebagai suatu aktifitas yang semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ia merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Dengan demikian pendidikan merupakan sebuah keniscayaan dalam sebuah masyarakat manusia, dan ia akan selalu berkembang sesuai perkembangan dan kemajuan peradaban manusia.
Karena disadari atau tidak, sesungguhnya manusia senantiasa berada dan tidak mungkin bisa keluar dari ruangan pendidikan yang disebut “dunia”, karena ketika sekolah dikatakan sebagai lembaga pendidikan formal, maka sesungguhnya “dunia” merupakan sekolah terbesar bagi manusia, karena di dalamnya dan dari padanya manusia dapat memperoleh banyak hal tentang pengetahuan kehidupan. Karena itu Ibnu Khaldun berkeyakinan bahwa manusia yang tidak sempat memperoleh pendidikan dari kedua orang tuanya, maka zamanlah yang akan mendidiknya.
Oleh karena pendidikan sesungguhnya tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan waktu, sebab sepanjang kehidupannya pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir, berkreasi, beraktifitas, memiliki pengalaman-pengalaman, serta tujuan-tujuan hidup yang akan dicapai dengan cara-cara itu atau metode tertentu, yang menurut Ibnu Khaldun tujuan itu adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Berangkat dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan mencoba mendiskripsikan pandangan dan ide-ide Ibnu Khaldun tentang falsafah pendidikan yang secara implisit mengacu kepada tujuan sebagaimana tersebut di atas.

B. IBNU KHALDUN: BIOGRAFI DAN KARYANYA
1. Biografi Ibnu Khaldun
a. Asal Usul dan Pendidikannya
Ibnu Khaldun, nama lengkapnya adalah Abdurrahman Zaid Waliuddin bin Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H, bertepatan dengan tanggal 27 Mei 1332 M. Nama kecilnya adalah Abdurrahman, sedangkan Abu Zaid adalah nama panggilan keluarga, karena dihubungkan dengan anaknya yang sulung. Waliuddin adalah kehormatan dan kebesaran yang dianugerahkan oleh Raja Mesir sewaktu ia diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Mesir. 
Adapun asal-usul Ibnu Khaldun menurut Ibnu Hazm ulama Andalusia yang wafat tahun 457 H/1065 M, disebutkan bahwa: Keluarga Ibnu Khaldun berasal dari Hadramaut di Yaman, dan kalau ditelusuri silsilahnya sampai kepada sahabat Rasulullah yang terkenal meriwayatkan kurang lebih 70 hadits dari Rasulullah, yaitu Wail bin Hujr. Nenek moyang Ibnu Khaldun adalah Khalid bin Usman, masuk Andalusia (Spanyol) bersama-sama para penakluk berkebangsaan Arab sekitar abad ke VII M., karena tertarik oleh kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh tentara Islam. Ia menetap di Carmona, suatu kota kecil yang terletak di tengah-tengah antara tiga kota yaitu Cordova, Granada dan Seville, yang di kemudian hari kota ini menjadi pusat kebudayaan Islam di Andalusia. 
Pada abad ke VII M, anak cucu Khaldun pindah ke Sevilla yang pada masa pemerintahan Amir Abdullah Ibnu Muhammad dari Bani Umayyah (274-300 H.) Andalusia dalam suasana perpecahan dan perebutan kekuasaan dan yang paling parah adalah Sevilla. Dalam suasana seperti itu anak cucu Khaldun yang bernama Kuraib mengadakan pemberontakan bersama Umayyah Ibnu Abdul Ghofir, dia berhasil merebut kekuasaan dan mendirikan pemerintahan (sebagai Amir) di Sevilla. Akan tetapi karena kekejaman dan kekerasannya dia tidak disenangi rakyat dan akhirnya meninggal terbunuh pada tahun 899 H.
Banu Khaldun tetap tinggal di Sevilla selama pemerintahan Umayyah dengan tidak mengambil peranan yang berarti sehingga datangnya pemerintahan raja-raja kecil (al-Thowalif) dan Sevilla berada dalam kekuasaan Ibnu Abbad. Pada masa itulah bintang Banu Khaldun meningkat lagi sampai pada masa pemerintahan Al-Muwahidun. Setelah raja-raja Thowaif mengalami kemunduran, maka muncullah raja-raja Muwahhidin menggeser kekuasaan raja-raja Murabbith. Pada pemerintahan Muwahhidun inilah Banu Khaldun menjalin hubungan dengan keluarga pemerintah, sehingga mereka mempunyai kedudukan yang terhormat. Tatkala kerajaan Muwahhidin mengalami kemunduran dan Andalusia menjadi kacau balau, maka Banu Khaldun pindah ke Tunisia pada tahun 1223 M. nenek moyang Ibnu Khaldun yang pertama mendarat ke Tunisia adalah al-Hasan Ibnu Muhammad (kakek keempat Ibnu Khaldun), kemudian disusul oleh saudara-saudaranya yang lain seperti Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar Muhammad dan lain-lain. Kakek Ibnu Khaldun itu rata-rata menduduki jabatan penting di dalam pemerintahan waktu itu. Sedangkan anaknya Abu Abdillah Muhammad (ayah Ibnu Khaldun) tidak tertarik kepada jabatan pemerintahan, akan tetapi ia lebih mementingkan bidang ilmu dan pendidikan, sehingga ia dikenal sebagai ahli dalam bidang ilmu fiqih, meninggal tahun 749 H/1349 M. Ia meninggalkan beberapa orang anak diantaranya: Abu Yazid Waliuddin (Ibnu Khaldun), Umar, Musa, Yahya dan Muhammad. Pada waktu itu Ibnu Khaldun baru berusia 18 tahun.
Adapun pendidikan yang diperoleh Ibnu Khaldun diantaranya adalah pelajaran agama, bahasa, logika dan filsafat. Sebagai gurunya yang utama adalah ayahnya sendiri, di samping Ibnu Khaldun juga menghafal al-Qur’an, mempelajari fisika dan matematika dari ulama-ulama besar pada masanya. Di antara guru-guru Ibnu Khaldun adalah Muhammad bin Saad Burral al-Anshari, Muhammad bin Abdissalam, Muhammad bin Abdil Muhaimin al-Hadrami dan Abu Abdillah Muhammad bin Ibrohim al-Abilli. Dari merekalah Ibnu Khaldun mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1349 setelah kedua orang tua Ibnu Khaldun meninggal dunia Ibnu Khaldun memutuskan untuk pindah ke Marokko, namun dicegah oleh kakaknya, baru tahun 1354 Ibnu Khaldun melaksanakan niatnya pergi ke Marokko, dan di sanalah Ibnu Khaldun mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan pendidikan tingginya. Selama menjalani pendidikannya di Marokko, ada empat ilmu yang dipelajarinya secara mendalam yaitu: Kelompok bahasa Arab yang terdiri dari: Nahwu, shorof, balaghoh, khitabah dan sastra. Kelompok ilmu syari’at terdiri dari: Fiqh (Maliki), tafsir, hadits, ushul fiqh dan ilmu al-Qur’an. Kelompok ilmu ‘aqliyah (ilmu-ilmu filsafat) terdiri dari: filsafat, mantiq, fisika, matematika, falak, musik, dan sejarah. Kelompok ilmu kenegaraan terdiri atas: ilmu administrasi, organisasi, ekonomi dan politik. Dalam sepanjang hidupnya Ibnu Khaldun tidak pernah berhenti belajar, sebagaimana dikatakan oleh Von Wesendonk: bahwa sepanjang hidupnya, dari awal hingga wafatnya Ibnu Khaldun telah dengan sungguh-sungguh mencurahkan perhatiannya untuk mencari ilmu. Sehingga merupakan hal yang wajar apabila dengan kecermelangan otaknya dan didukung oleh kemauannya yang membaja untuk menjadi seorang yang alim dan arif, hanya dalam waktu kurang dari seperempat abad Ibnu Khaldun telah mampu menguasai berbagai ilmu pengetahuan.
b. Perjalanan dan Pengalaman Hidup Ibnu Khaldun setelah Usia Dewasa
Memasuki tahun ke-20 dari usianya, Ibnu Khaldun mulai tertarik dengan kehidupan politik, sehingga pada tahu 755 H./1354 Ml., karena kecakapannya Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris Sultan di Maroko, namun jabatan ini tidak lama di pangkunya, karena pada tahun 1357 Ibnu Khaldun terlibat dalam persekongkolan untuk menggulingkan Amir bersama Amir Abu Abdullah Muhammad, sehingga ia ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi tidak lama kemudian dia dibebaskan, yang kemudian pada tahun itu juga setelah Sultan meninggal dunia dan kekuasaan direbut oleh Al-Mansur bin Sulaiman dari menterinya Al-Hasan, maka Ibnu Khaldun menggabungkan diri dengan Al-Mansur dan dia diangkat menjadi sekretarisnya. Namun tidak lama kemudian Ibnu Khaldun meninggalkan Al-Mansur dan bekerjasama dengan Abu Salim. Pada waktu itu Abu Salim menduduki singgasana dan Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretarisnya dan dua tahun kemudian diangkat menjadi Mahkamah Agung. Di sinilah Ibnu Khaldun menunjukkan prestasinya yang luar biasa, tetapi itupun tidak berlangsung lama, karena pada tahun 762 H./1361 M., timbul pemberontakan di kalangan keluarga istana, maka pada waktu itu Ibnu Khaldun meninggalkan jabatan yang disandangnya. 
Rupanya tidak tahan lama Ibnu Khaldun bergelut dengan dunia politik dia ingin kembali ke dalam dunia ilmu pengetahuan yang pernah lama digelutinya. Akhirnya dia memutar haluan bertolak ke daerah Banu Arif bersama keluarganya, dan di tempat inilah Ibnu Khaldun dan keluarganya baru merasa hidup tenang dan tentram jauh dari kemunafikan politik. Dalam ketenangannya itu Ibnu Khaldun merenung ingin menumpahkan semua pengalaman dan liku-liku kehidupannya. Maka dari sinilah ia mengalihkan perjalanan hidupnya dari petualang politik kembali kepada dunia ilmu pengetahuan, dan mulailah ia menyusun karya besarnya yang kemudian dikenal dengan “Muqoddimah Ibnu Khaldun”. Selama empat tahun tinggal di daerah Banu Arif Ibnu Khaldun juga menyusun sejarah besarnya Al-‘Ibar, akan tetapi karena kekurangan referensi maka ia pergi ke Tunisia, dan disanalah ia menyelesaikan karyanya. Rupanya ketenangan Ibnu Khaldun terganggu lagi ketika Sultan mengajaknya untuk mendampingi menumpas pengacau, namun karena Ibnu Khaldun sudah jenuh dengan kehidupan politik, maka kemudian ia pindah ke Mesir. Di Mesir Ibnu Khaldun disambut dengan hangat. Ilmuwan yang sarjana ini sudah tidak asing lagi di sana karena karya-karyanya sudah tersebar di sana. Sebagai orang baru Ibnu Khaldun langsung diberi dua jabatan penting yaitu sebagai hakim tinggi dan sebagai guru besar di perguruan Al-Azhar. Setelah sekian lama berhidmat untuk ilmu dan mengabdi kepada Afrika Utara dan Andalusia ilmuwan besar dan terkemuka itu meninggal dunia pada hari Rabu tanggal 25 Ramadhan 808 H. bertepatan dengan tanggal 17 Maret 1406 M. dalam usianya yang ke-76, dan dimakamkan di pekuburan orang-orang sufi Babul Nashr di Kairo. 
c. Kepribadian dan Corak Pemikiran Ibnu Khaldun
Sebagai seoang pemikir Ibnu Khaldun memiliki watak yang luar biasa yang kadang terasa kurang baik. Dalam hal ini Muhammad Abdullah Enan melukiskan kepribadian Ibnu Khaldun yang istimewa itu dengan mencoba memperlihatkan ciri psikologik Ibnu Khaldun, walaupun diakuinya secara moral ini tidak selalu sesuai. Menurutnya ia melihat dalam diri Ibnu Khaldun terdapat sifat angkuh dan egoisme, penuh ambisi, tidak menentu dan kurang memiliki rasa terima kasih. Namun di samping sifat-sifatnya yang tersebut di atas dia juga mempunyai sifat pemberani, tabah dan kuat, teguh pendirian serta tahan uji. Disamping memiliki intelegensi yang tinggi, cerdas, berpandangan jauh dan pandai berpuisi. Menurut beberapa ahli, Ibnu Khaldun dalam proses pemikirannya mengalami percampuran yang unik, yaitu antara dua tokoh yang saling bertolak belakang, Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd. Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd bertentangan dalam bidang filsafat. Ibnu Rusyd adalah pengikut Aristoteles yang setia, sedangkan Al-Ghozali adalah penentang filsafat Aristoteles yang gigih. Ibnu Khaldun adalah pengikut Al-Ghozali dalam permusuhannya melawan logika Aristoteles, dan pengikut Ibnu Rusyd dalam usahanya mempengaruhi massa. Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana muslim waktu itu yang menyadari arti pentingnya praduga dan katagori dalam pemikiran untuk menyelesaikan perdebatan-perdebatan intelektual. Barangkali karena itulah seperti anggapan Fuad Baali bahwa Ibnu Khaldun membangun suatu bentuk logika baru yang realistik, sebagai upayanya untuk mengganti logika idealistik Aristoteles yang berpola paternalistik-absolutistik-spiritualistik. Sedangkan logika realistik Ibnu Khaldun ini berpola pikir relatifistik-temporalistik-materialistik. 
Dengan berpola pikir seperti itulah Ibnu Khaldun mengamati dan menganalisa gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, yang pada akhirnya tercipta suatu teori kemasyarakatan yang modern. 
2. Karya-karya Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”. Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena karyanya yang pokok (al-‘Ibar), namun pengantar al-‘Ibarnyalah yang telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur begitu mengaguminya. Sampai-sampai Windellband dalam filsafat sejarahnya menyebutnya sebagai “Tokoh ajaib yang sama sekali lepas, baik dari masa lampau maupun masa yang akan datang”. 
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan. Adapun hasil karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:
1. Kitab Muqaddimah, yang merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan sejarahnya.
2. Kitab al-‘Ibar, wa Diwan al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi (Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka, khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara). 
3. Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi , merupakan bagian terakhir dari kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara satu dengan yang lain. 

C. PEMIKIRAN IBNU KHALDUN TENTANG FILSAFAT PENDIDIKAN
1. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Pada bab ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada bab empat dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. 
Di dalam kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan Ibnu Khaldun bahwa:
Barangsiapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan terdidik oleh zaman, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya. 

Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding, tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap, menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman. 
Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial manusia itu bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Alasan yang dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan Allah SWT telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Kemampuan manusia untuk berfikir baru dapat dicapai setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan, yaitu dengan melalui proses; kemampuan membedakan. Sebelum pada tahap ini manusia sama sekali persis seperti binatang, manusia hanya berupa setetes sperma, segumpal darah, sekerat daging dan masih ditentukan rupa mentalnya. Kemudian Allah memberikan anugerah berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu berfikir tentang semuanya. Dari pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan pandangannya dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya. Akhirnya dia menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat menjadi suatu kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut. Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari sinilah timbul pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia. 
Adapun tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun, bahwa di dalam Muqaddimahnya ia tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas, akan tetapi dari uraian yang tersirat, dapat diketahui tujuan yang seharusnya dicapai di dalam pendidikan. Dalam hal ini al-Toumy mencoba menganalisa isi Muqaddimahnya dan ditemukan beberapa tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Dijelaskan menurutnya ada enam tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan, antara lain: 
1. Menyiapkan seseorang dari segi keagamaan, yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al-Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat, sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging, maka ia seakan-akan menjadi fithrah.
2. Menyiapkan seseorang dari segi akhlak. Hal ini sesuai pula dengan apa yang dikatakan Muhammad AR., bahwa hakekat pendidikan menurut Islam sesungguhnya adalah menumbuhkan dan membentuk kepribadian manusia yang sempurna melalui budi luhur dan akhlak mulia. 
3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4. Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan. Ditegaskannya tentang pentingnya pekerjaan sepanjang umur manusia, sedang pengajaran atau pendidikan menurutnya termasuk di antara ketrampilan-ketrampilan itu.
5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan pemikiran seseorang dapat memegang berbagai pekerjaan atau ketrampilan tertentu.
6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuk musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain. 

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian. Dia telah memberikan porsi yang sama antara apa yang akan dicapai dalam urusan ukhrowi dan duniawi, karena baginya pendidikan adalah jalan untuk memperoleh rizki. Maka atas dasar itulah Ibnu Khaldun beranggapan bahwa target pendidikan adalah memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena dia memandang aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya pikiran dan kematangan individu. Karena kematangan berfikir adalah alat kemajuan ilmu industri dan sistem sosial. 
Dari rumusan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun menganut prinsip keseimbangan. Dia ingin anak didik mencapai kebahagiaan duniawi dan sekaligus ukhrowinya kelak. Berangkat dari pengamatan terhadap rumusan tujuan pendidikan yang ingin dicapai Ibnu Khaldun, secara jelas kita dapat melihat bahwa ciri khas pendidikan Islam yaitu sifat moral religius nampak jelas dalam tujuan pendidikannya, dengan tanpa mengabaikan masalah-masalah duniawi. Sehingga secara umum dapat kita katakan bahwa pendapat Ibnu Khaldun tentang pendidikan telah sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan Islam yakni aspirasi yang bernafaskan agama dan moral.
2. Pandangan Ibnu Khaldun mengenai Kurikulum dan Materi Pendidikan
Sebelum membahas pandangan Ibnu Khaldun tentang kurikulum perlu kiranya diberikan pengertian kurikulum pada zamannya, karena kurikulum pada zamannya tentu saja berbeda dengan kurikulum masa kini yang telah memiliki pengertian yang lebih luas. Pengertian kurikulum pada masa Ibnu Khaldun masih terbatas pada maklumat-maklumat dan pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah dalam bentuk mata pelajaran yang terbatas atau dalam bentuk kitab-kitab tradisional yang tertentu, yang dikaji oleh murid dalam tiap tahap pendidikan. 
Sedangkan pengertian kurikulum modern, telah mencakup konsep yang lebih luas yang di dalamnya mencakup empat unsur pokok yaitu: Tujuan pendidikan yang ingin dicapai, pengetahuan-pengetahuan, maklumat-maklumat, data kegiatan-kegiatan, pengalaman-pengalaman dari mana terbentuknya kurikulum itu, metode pengajaran serta bimbingan kepada murid, ditambah metode penilaian yang dipergunakan untuk mengukur kurikulum dan hasil proses pendidikan. Dalam pembahasannya mengenai kurikulum Ibnu Khaldun mencoba membandingkan kurikulum-kurikulum yang berlaku pada masanya, yaitu kurikulum pada tingkat rendah yang terjadi di negara-negara Islam bagian Barat dan Timur. Ia mengatakan bahwa sistem pendidikan dan pengajaran yang berlaku di Maghrib, bahwa orang-orang Maghrib membatasi pendidikan dan pengajaran mereka pada mempelajari al-Qur’an dari berbagai segi kandungannya. Sedangkan orang-orang Andalusia, mereka menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dalam pengajarannya, karena al-Qur’an merupakan sumber Islam dan sumber semua ilmu pengetahuan. Sehingga mereka tidak membatasi pengajaran anak-anak pada mempelajari al-Qur’an saja, akan tetapi dimasukkan juga pelajaran-pelajaran lain seperti syair, karang mengarang, khat, kaidah-kaidah bahasa Arab dan hafalan-hafalan lain. Demikian pula dengan orang-orang Ifrikiya, mereka mengkombinasikan pengajaran al-Qur’an dengan hadits dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan tertentu. 
Adapun metode yang dipakai orang Timur seperti pengakuan Ibnu Khaldun, sejauh yang ia ketahui bahwa orang-orang Timur memiliki jenis kurikulum campuran antara pengajaran al-Qur’an dan kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan. Dalam hal ini Ibnu Khaldun menganjurkan agar pada anak-anak seyogyanya terlebih dahulu diajarkan bahasa Arab sebelum ilmu-ilmu yang lain, karena bahasa adalah merupakan kunci untuk menyingkap semua ilmu pengetahuan, sehingga menurutnya mengajarkan al-Qur’an mendahului pengajarannya terhadap bahasa Arab akan mengkaburkan pemahaman anak terhadap al-Qur’an itu sendiri, karena anak akan membaca apa yang tidak dimengertinya dan hal ini menurutnya tidak ada gunanya. 
Adapun pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu itu menjadi dua macam yaitu:
1. Ilmu-ilmu tradisional (Naqliyah)
Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadits.
Adapun yang termasuk ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat, ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi. 
2. Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah)
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu: a. Ilmu logika, b. Ilmu fisika, c. Ilmu metafisika dan d. Ilmu matematika. Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi ilmunya. 
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1. Ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2. Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika) 
3. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab, ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4. Ilmu alat yang membantu mempelajari ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama. 
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu ‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah (filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama. Menurut Ibnu Khaldun ilmu-ilmu pengetahuan tersebut dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar banyak tergantung pada para pendidik, bagaimana dan sejauh mana mereka pandai mempergunakan berbagai metode yang tepat dan baik.
3. Pandangan Ibnu Khaldun tentang Metode Pendidikan
Pandangan Ibnu Khaldun tentang metode pengajaran merupakan bagian dari pembahasan pada buku Muqaddimahnya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah pendidikan Islam dapat kita simak bahwa dalam berbagai kondisi dan situasi yang berbeda, telah diterapkan metode pengajaran. Dan metode yang dipergunakan bukan hanya metode mengajar bagi pendidik, melainkan juga metode belajar yang harus digunakan oleh anak didik. Hal ini sebagaimana telah dibahas Ibnu Khaldun dalam buku Muqaddimahnya.
Di dalam buku Muqaddimahnya dia telah mencanangkan langkah-langkah pendidikan sebagai berikut:
Pertama: Didalam memberikan pengetahuan kepada anak didik, pendidik hendaknya memberikan problem-problem pokok yang bersifat umum dan menyeluruh, dengan memperhatikan kemampuan akal anak didik.
Kedua: Setelah pendidik memberikan problem-problem yang umum dari pengetahuan tadi baru pendidik membahasnya secara lebih detail dan terperinci.
Ketiga: Pada langkah ketiga ini pendidik menyampaikan pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik memperoleh pemahaman yang sempurna. Demikian itu metode umum yang ditawarkan Ibnu Khaldun di dalam proses belajar mengajar.
Disamping itu Ibnu Khaldun juga menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan inovatif. Lain halnya dengan metode hafalan, yang menurutnya metode ini membuat anak didik kurang mendapatkan pemahaman yang benar. Disamping metode yang sudah disebut di atas Ibnu Khaldun juga menganjurkan metode peragaan, karena dengan metode ini proses pengajaran akan lebih efektif dan materi pelajaran akan lebih cepat ditangkap anak didik. Satu hal yang menunjukkan kematangan berfikir Ibnu Khaldun, adalah prinsipnya bahwa belajar bukan penghafalan di luar kepala, melainkan pemahaman, pembahasan dan kemampuan berdiskusi. Karena menurutnya belajar dengan berdiskusi akan menghidupkan kreativitas pikir anak, dapat memecahkan masalah dan pandai menghargai pendapat orang lain, disamping dengan berdiskusi anak akan benar-benar mengerti dan paham terhadap apa yang dipelajarinya. Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Dan apabila kita cermati satu demi satu pandangannya tentang kurikulum materi dan metode pendidikan, maka dapat kita tarik suatu kesimpulan bahwa ilmuan yang diakui Barat dan Timur ini memang memiliki pandangan yang jauh ke depan dalam berbagai masalah pengetahuan, berfikir universal dan sintetik, sehingga filsafatnya tentang pendidikan tidak pernah dirasanya usang bahkan banyak diteladani baik kawan maupun lawan.

D. KESIMPULAN
Mengakhiri tulisan tentang Filsafat Pendidikan dalam pandangan Ibnu Khaldun ini ada beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu mendapatkan perhatian.
Yakni bahwa sebagai ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu maupun masa sekarang. Dari segi metode, materi, maupun kurikulum yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk dikaji dan dicermati.
Walaupun di dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnu Khaldun hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan, akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia. Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup bermasyarakat. 
Sementara itu Ibnu Khaldun melihat bahwa penguasaan terhadap bahasa merupakan prasyarat bagi keberhasilan suatu pendidikan.
Adapun metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Karena menurutnya hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan pendidikan. 




DAFTAR PUSTAKA

Akhmad, K.H. Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1984.
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Ali, A. Mukti, Ibnu Khaldun dan Asal-Usul Sosiologinya, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1970.
Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. 
Audah, Ali, Ibnu Khaldun Sebuah Pengantar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Baali, Fuad dan Ali Wardi, Ibnu Khaldun dan Pola Pemikiran Islam, alih bahasa Osman Ralibi, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan Sistem dan Metode, Yogyakarta: Andi Offset, 1987.
Enan, Muhammad Abdullah, Ibnu Khaldun: His Life and Work, New Delhi: Kitab Bhavan, 1979. 
Hadi, Sutrisno, Metodologi Riset I, Yogyakarta: Andi Offset, 1982.
Khaldun, Ibnu, Muqaddimah Ibnu Khaldun, (terj.) Ahmadi Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Muhammad, AR., Pendidikan di Alaf Baru, Yogyakarta: Prisma Sophie, 2003. 
Raliby, Osman, Ibnu Khaldun, Tentang Masyarakat dan Negara, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Sulaiman, Fathiyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan Pendidikan, Bandung: Diponegoro, 1987.
_______, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, Bandung: Diponegoro, 1987.
Thoha, Nashruddin, Tokoh-tokoh Pendidikan Islam di Jaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1979.
Wafi, Ali Abdul Wahid, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya, terj. Ahmadie Thoha, Jakarta: Grafiti Press, 1985.
Oleh : Cosmopolitan.com | Love + Sex

Bukan rahasia bahwa pria perlu waktu sangat lama untuk mengatakan cinta, tapi karena dia tidak mengatakannya bukan berarti dia tidak memikirkan Anda sepanjang waktu. Kami punya pria sejati yang akan membocorkan rahasia tanda-tanda pria yang mencintaimu.

1. Melihatnya menatap Anda
Pria selalu menatap apa yang mereka inginkan — itu adalah alasan Anda selalu memergoki pria sedang mengintip belahan dada. Jadi: dengan semua wanita cantik di luar sana, tapi dia sedang menatap Anda, cintanya pasti besar. Ada rahasia dalam tatapannya (Anda harus melihatnya sedang beraksi). "Melihat pacarku saat pesta memberiku momen saat aku bisa mencubit diriku sendiri dan merenung bagaimana aku bisa mendapat wanita yang luar biasa dalam hidupku — sebuah prespektif yang tidak bisa kudapatkan saat dia berdiri di depanku." ujar Patrick (30 tahun).

2. Dia menatap mata Anda
Tatapan yang seolah berkata “Aku cinta padamu” adalah tatapan yang konstan. Pria sangat berhati-hati dalam menunjukan perasaanya. Jika mereka melihat Anda terus-menerus tanpa berkedip, mereka sedang menunjukkan perasaannya pada Anda. "Aku tidak pernah terlibat kontak mata seperti itu dengan orang lain, tapi ketika bertatapan dengan pacarku, tercermin betapa nyaman dan terpesonanya diriku olehnya." ujar Chip (29 tahun).

3. Dia membeli makanan yang Anda suka
Menemukan dapurnya penuh dengan biscotti, seltzer lemon, dan makanan kegemaran wanita (yang hanya seperti cemilan bagi pria) menunjukkan Anda memenuhi pikirannya di tempat yang tak terduga — seperti ketika pergi belanja seorang diri. "Suatu hari aku melihat kereta belanjaku dan aku melihat wortel dan soda diet untuk pacarku," ujar Patrick. "Hal tersebut membuatku terkejut dan menjadi kebiasaan untuk mempertimbangkan apa yang membuat pacarku senang, saat itu aku sadar kalau aku jatuh cinta."

4. Dia menyimpan barang Anda di rumahnya
Dia memublikasikan hubungan Anda. Pria suka mempertahankan citra lajang selama mungkin. Jadi jika dia meninggalkan tanda ada wanita dalam hidupnya — itu artinya dia mencintai Anda.

5. Dia membicarakan masa depan.
Mengatakan rencananya untuk pindah mungkin seperti peringatan. Tapi itu juga caranya untuk memberi tahu bahwa dia ingin bersama Anda di masa depan. "Setiap kali aku berkata pada pacarku, aku melihat 'diriku' di masa depan, aku sedang menebak apakah dia melihat dirinya dan diriku disana," ujar John (26 tahun). 

Bagaimana Anda bisa tahu kalau dia sedang membual ketika mengatakan cintanya? Semua ada di caranya bicara, jika dia berkata dia ingin pindah ke Tahiti, jadi anak pantai, menggoda gadis lokal tanpa ikatan? Tentu Anda bisa menebak. Jika dia berkata ingin pindah ke San Fransisco, dan bertanya apakah Anda pernah membayangkan tinggal di sana, berarti dia menginginkan hubungan jangka panjang.

6. Dia menggunakan sweater yang Anda berikan
Memercayakan Anda untuk urusan pakaian bukanlah sesuatu hal yang siap dilakukan pria. Bukannya pria pilih-pilih dengan penampilannya, hanya saja itulah harga diri pria. Salahkan ego pria yang besar, tapi memberi izin untuk merusak identitas mereka, walau untuk tujuan yang baik, dianggap sebagai tanda kelemahan.

7. Dia berdiri di sebelah Anda di tempat umum
Pikirkanlah hal ini: Pria terprogram untuk menggoda wanita. Jadi jika pria tidak yakin dengan Anda, dia akan berjalan beberapa langkah di depan atau di belakang Anda — dua posisi aman untuk menyembunyikan mata yang melihat ke mana-mana. Berjalan bersebelahan adalah cara menunjukkan komitmen dengan menjaga mata, dan membatasi kemampuannya menggoda wanita seksi. "Berjalan bersebelahan menempatkan pacarku di dalam jangkauan bibirku, membuatnya mudah untuk berbisik, bersandar, atau ciuman ringan", ujar Ryan (27 tahun), “adalah caraku menunjukkan pada wanita lain kalau aku tidak lajang."

8. Dia membiarkan Anda menjawab teleponnya.
Pria tidak pernah tahu perusak citra yang mengintai di balik telepon — mulai dari mantan pacar yang mengajak bertemu sampai ibu yang serba ingin tahu. Jika kami membiarkan Anda menjawab telepon, artinya tidak ada yang ingin kami sembunyikan dari Anda. "Pria tidak terlalu suka berbagi. Jadi ketika pria membiarkan Anda menjawab teleponnya — kemungkinan informasi pribadinya akan bocor dan bisa Anda gunakan untuk memerasnya sepanjang hidupnya — artinya dia ingin bersama Anda dalam waktu yang sangat lama, " ujar Rich (29 tahun)